Mang Sayur

16001049
sumber foto: Mas Sayur zonamotor.net

Kemarin tukang sayur yang biasa lewat depan rumah, tidak datang, karenanya pagi ini kutanya,

“Kok, kemarin nggak jualan, Mang?”

“Iya, saya bangun kesiangan!” Jawabnya.
“Emang bangun jam berapa, Mang?” Aku balik tanya.
“Jam setengah satu!” Jawabnya.
“Setengah satu siang?” tanyaku lagi
“Enggak, lah, jam setengah satu malam!” Jawabnya lagi.
“Bangun setengah satu malam masih kesiangan jualan, emang biasanya bangun jam
berapa, Mang? tanyaku lagi, penasaran.
“Saya biasa bangun jam 11 malam, terus belanja sampai jam 2 (pagi). Setelah itu bungkus-bungkus sampai Subuh. Habis subuh langsung ngider jualan,” paparnya.
“Terus tidurnya jam berapa, Mang?”
“Selesai jualan, kadang jam 3, kadang-kadang jam 4.”
—-
Wow, aku tidak bisa membayangkan kerja dengan jam kerja seperti itu. Jam 11 malam, bagi sebagian orang adalah jam berangkat tidur tapi bagi Mang Nyunyun (nama panggilan dia) justru saat dia mulai kerja. Lima belas jam berikutnya dia masih kerja. Kalau dihitung mungkin hanya sekitar 4-5 jam dia tidur per hari, dengan jam tidur yang tidak ‘normal’. Padahal si “Mamang” ini masih muda, mungkin usianya sekitar 30 tahun. Kubayangkan, pasti sesekali dia pingin main juga dengan teman-temannya, atau sekadar bersantai tanpa dikejar waktu.
Tapi dia mungkin tak punya banyak pilihan pekerjaan. Atau mungkin memang dia memilih kerja seperti itu dibanding kerja di pabrik atau pekerjaan lain. Tetangga depan rumah pernah cerita kalau Mang Nyunyun sempat tidak jualan beberapa bulan, kabarnya dia menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri. Tapi tak lama kemudian dia balik dan kembali jualan lagi.
Cerita Mang Nyunyun menyadarkan aku bahwa ada banyak hal yang mesti kusyukuri. Bahwa untuk bisa belanja di depan rumah, ada sosok penjual yang mesti bangun sejak jam 11 malam. Bahwa pekerjaan sehari-hari di rumah itu masih terbilang ringan, dengan jam kerja yang longgar, tanpa deadline dan bebas tekanan. Kalau pas malas masak, ya, tinggal beli makanan jadi. Kalau malas nyuci, ya, tinggal ditumpuk untuk nyuci hari berikutnya. Itupun yang nyuci si mesin cuci, tinggal memasukkan baju, mencet tombol, hingga siap dijemur. Jika malas menyetrika, ya, baju nggak usah disetrika. Asal tahan aja ngelihat baju anak-anak atau baju sendiri sedikit kusut. Bahkan, andaikan malas banget cuci dan setrika, tinggal bawake laundry, lalu tinggal jemput dan terima baju rapi dan wangi. Semua itu adalah kemewahan yang mungkin tidak semua orang bisa merasakan.
Di sisi lain aku juga senang, menyaksikan anak muda pekerja keras. Aku jadi lebih menghormati Mang Nyunyun yang memilih mengisi masa mudanya dengan kerja keras dibanding santai-santai dan kongkow-kongkow yang biasanya dipilih mereka yang enggan memeras keringat. InsyaAllah dengan niat baik bekerja halal, Allah akan anugerahkan rezeki berlimpah dan barokah.
Terimakasih atas ‘petuah’ hidup yang berharga, Mang Nyunyun!

11 thoughts on “Mang Sayur

  1. Begitu banyak orang-orang yang pola hidupnya seperti mang Nyunyun. Padahal mereka adalah orang-orang yang jasanya sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang pola hidupnya normal.

    Like

    1. Bener banget. Jika dipikir-dipikir selain tukang sayur, masih ada bapak2 penjahit yg lewat tiap sore dan siap memperbaiki baju yg kebesaran. Juga ada mbak jamu yang entah sejam jam berapa bangun menyiapkan jamunya. Abang penjual siomay, dan masih banyak lagi…

      Liked by 1 person

    1. Wah terimakasih banget informasinya. Berarti sumber foto yg saya cantumkan jg nomor dari beliau. Akan saya ganti credit title fotonya segera. Mohon maaf ya mas Sayur zonamotor.net

      Like

  2. Pekerja keras namya, walau pun hanya penjual sayur kebanyakan umur 30an malu tapi salut sama mamang sayur. Klo TKI kan pahlawan devisa klo manang sayur pahlawan ibu2 😁

    Like

  3. Serasa tertampar niy… Jadi malu saya,, kadang sedikit sekali rasa syukurku… Makasih dah nulis ini ya, Mbak Aini… 🙂

    Like

Leave a comment