“Dengan budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.” – Ki Hajar Dewantara.

Ungkapan Ki Hajar Dewantara ini tiba-tiba terngiang di telinga saya, saat pagi itu saya menonton berita di televisi yang sebagian besar memuat tentang kasus-kasus yang menggambarkan carut marutnya pengelolaan negeri ini, seperti pejabat yang korupsi, juga berita mengenai diretasnya data penting masyarakat.
Saat kemudian saya berpindah ke media sosial yang khusus membahas isu-isu terkini di Indonesia, saya kembali menemukan berbagai video dan berita yang berisi pernyataan-pernyataan ‘pembenaran’ dari perilaku buruk para pejabat penting tersebut.
Saya lalu bertanya-tanya, apakah para pejabat itu tidak malu, menyatakan bahwa mereka tidak bersalah dan berkelit dengan berbagai alasan. Bahkan seorang pejabat yang terbukti melakukan korupsi puluhan miliar menyatakan bahwa vonis itu tidak adil karena tidak mempertimbangkan semua kebijakan extraordinary yang sudah dia lakukan selama menjabat sebagai menteri.
Sementara pejabat satunya alih-alih menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian menjaga keamanan data, malah mengucap syukur karena menganggap kondisi Indonesia masih ‘untung’ karena yang meretas data bukan berasal dari aktor negara.
Jika merefleksikan sikap dan pernyataan para pejabat tersebut saya jadi bertanya-tanya, “kenapa, ya, susah menemukan karakter-karakter pejabat publik yang bisa menjadi panutan.”
Kita diajarkan bahwa jika melakukan kesalahan, yang pertama dilakukan adalah minta maaf. Setelah minta maaf tentu memperbaiki ‘kerusakan’ yang diakibatkan permasalahan tersebut.
Saya juga mengajarkan hal tersebut ke anak saya, apabila tidak sengaja menumpahkan air minum atau makanan, pertama, minta maaf dulu, lalu ambil kain pel atau sapu untuk mengelap atau membersihkan air atau makanan yang tumpah tersebut.
Membangun karakter, dimulai dari rumah dan sekolah yang merupakan ekosistem paling dekat bagi anak-anak. Sebaiknya juga dimulai saat usia anak sedini mungkin. Karena pembentukan dan pembangunan karakter itu membutuhkan waktu dan praktek yang lama dan terus menerus.
Konsep Kementerian Pendidikan dan Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang Transisi PAUD ke SD yang menyenangkan sudah mencakup konsep karakter ini. Dalam laman ditpsd.kemdikbud.go. id disebutkan bahwa kondisi yang diharapkan saat anak belajar di PAUD di antaranya;
- Anak merasa senang dalam belajar.
- Anak percaya bahwa dirinya pasti bisa asalkan mau berusaha.
- Anak mampu mengelola emosi dan menghargai orang lain.
- Anak dapat merawat diri dan barang-barang yang menjadi tanggung jawab diri.
- Anak paham kata dan keterkaitannya dengan huruf serta bunyinya.
- Anak mampu menyimak dan dapat mengutarakan gagasan sederhana.
- Anak paham bahwa 5 + 3 = 5 objek ditambah dengan 3 objek.
Ke-7 kondisi yang diharapkan tersebut mencakup suasana mental yang sehat yang ini merupakan pondasi dari karakter positif seseorang. Senang belajar, mau berusaha, mengelola emosi, menghargai orang lain, bertanggungjawab, dan menyimak gagasan adalah dasar-dasar karakter yang kuat. Hanya dua kondisi yang terkait dengan capaian belajar yang terkait calistung, yakni kemampuan memahami kata dan konsep dasar perhitungan.
Masalahnya seringkali pendidikan karakter terbatas pada teori. Misalnya anak dianggap sudah mengerti ketika ditanya guru, “Anak-anak, kalau ada teman yang jatuh, apa yang harus dilakukan?” Bahkan sering guru tidak menunggu anak menjawab sendiri, malah melanjutkan pernyataan dengan kata-kata, “Kita harus me…..”
“nolong,” jawab anak-anak serentak.
Sementara saat ada anak yang berebut mainan, guru hanya mendamaikan tanpa menekankan tentang adab meminjam yang sebetulnya menjadi tujuan dari peralihan PAUD ke SD yang menyenangkan sebagaimana konsep dari Kemdikbud.
Tantangannya memang bagaimana mengimplementasikan konsep karakter dalam proses pembelajaran. Untuk anak PAUD atau TK akan bagus kalau melalui game, video, atau lagu. Lalu dipraktekkan dalam proses belajar mengajar, misalnya dengan membuat aturan, jika mau meminjam barang dengan cara meminta baik-baik dan sabar. Selain itu anak-anak perlu berlatih menyampaikan perasaan, misal masih pingin main tapi ada teman yang meminjam mainan tersebut. Bisa dengan menyampaikan secara jujur namun sopan, misalnya, “Aku masih mau main, boleh nggak, kamu nunggu 5 menit lagi baru pinjem mainanku?”
Pendidikan karakter yang terlihat ‘sepele’ ini berefek jangka panjang, lho. Dengan anak berlatih mengenal emosi dan menyampaikan dengan baik maka ini adalah dasar dari penyikapan yang benar dan tepat dalam sebuah kejadian.
Saya rasa, jika pendidikan karakter semacam ini tertanam kuat, harusnya tidak terjadi penyikapan-penyikapan seperti yang disampaikan para pejabat sebagaimana saya bahas di awal tulisan ini
Jadi, pendidikan karakter ini sangat penting untuk membangun kepribadian bangsa yang bisa dimulai dari transisi PAUD ke SD yang menyenangkan.
Referensi:
Menyenangkan, yang. (2024). Tentang | Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan. Kemdikbud.go.id. https://ditpsd.kemdikbud.go.id/transisipaudsd/tentang