Aku Bosan Sekolah

“Aku nggak mau sekolah, Mama!” ucap Elyas pagi itu.

“Kenapa, Sayang?” respon saya.

“Bosan.”

Penasaran, saya ke sekolah, bertemu guru El dan konsultasi. Elyas baru kelas 2 SD. Selama kelas 1 dia bersemangat ke sekolah. Ketika awal-awal di kelas dua, dia juga masih bersemangat. namun setelah kurang lebih 3 bulan, dia mengeluh malas sampai puncaknya tidak mau masuk sekolah.

“Kalau di sekolah, El suka ganggu teman-temannya Bu? Misalnya saya menerangkan pelajaran, dia membuat pesawat kertas, lalu diterbangkan. Terus teman-temannya pada heboh, jadi hilang konsentrasi,” jelas Guru El.

“Kadang dia main-main dengan pensilnya, diketuk-ketukkan ke meja. Kalau diingatkan, dia berhenti, tapi lalu diulang lagi,” tambahnya.

“Pernah juga saat pelajaran dia masuk ke bawah meja, saya kira dia mau ambil alat tulis yang jatuh, ternyata malah bermain di bawah meja. Saya pernah memarahi El karena sudah beberapa kali saya ingatkan, dia masih melakukan hal yang sama. Pernah juga saya hukum tidak boleh istirahat. Mungkin karena itu dia tidak mau sekolah,” jelas Bu Guru.

“Saya minta maaf kalau anak saya melakukan hal tersebut di sekolah, Bu. Dia memang tipe yang tidak bisa diam saat belajar. Saat di rumah pun, ketika belajar bersama sama, pasti dia sambi melakukan sesuatu, misal menggambar atau memainkan pensil dengan tangannya. Mungkin, nggak, sih, Bu, kalau dia tipe anak yang belajarnya, apa, itu? Tangannya harus bergerak. Saya pernah baca buku ‘Toto-Chan” dan perilaku anak saya sepertinya mirip sama tokoh di buku itu,” respon saya.

“O iya benar, saya juga pernah baca buku itu. Coba nanti saya pelajari lagi, ya, Bu. Bisa jadi memang Elyas memiliki model belajar yang berbeda dengan teman-temannya. Saya akan coba diskusikan dengan guru yang lebih senior di sekolah, juga konsultan pendidikan di sekolah. Semoga ada solusi terbaik buat, El, ya, Bu!” jawab Bu Guru.

“Baik, Bu. Terimakasih kerjasamanya. Saya juga akan coba bicara dengan El, untuk memastikan apa masalah yang dia hadapi,” ucap saya sebelum pamit pulang.

Siang itu, saya coba mengobrol dengan El.

“El, sayang, coba cerita ke Mama, gimana perasaan El saat belajar di sekolah?” pancing saya.

“Males, Ma. El dimarahi terus sama Bu Guru!” jawabnya sambil bermain mobil-mobilan.

“Kata Bu Guru, ketika belajar di kelas, El pernah buat mainan pesawat terus kamu terbangkan dan mengganggu teman lain, bener, nggak?” tanya saya.

“Soalnya El bosan!”

“Terus, apa bener El ketuk-ketukkan pensil ke meja, sampai membuat berisik di kelas?” lanjut saya.

“El lupa, Ma!” jawabnya acuh tak acuh.

“Bu Guru juga bilang kalau El pernah sembunyi dan main di bawah meja saat Bu Guru menerangkan. Bener, begitu?” saya masih bertanya.

“Iya, sih. Tapi aku nangkep pelajarannya Ma. Buktinya waktu El ditanya Bu Guru, El bisa jawab dengan benar,” ucapnya.

“Oh begitu. Selain bosan, ada nggak alasan lain yang membuat El tidak bisa diam mendengarkan saat guru menerangkan pelajaran?”

“Nggak tahu, Ma. Pokoknya aku pingin aja melakukan sesuatu pas pelajaran di kelas.”

“Gimana kalau El pilih melakukan hal yang tidak mengganggu teman lain. Misalnya menggambar. Nanti Mama belikan buku yang khusus untuk menggambar. Namanya sketch book, bentuknya kayak buku tulis tapi tidak ada garisnya. Jadi kalau kamu bosan, kamu bisa menggambar,” saran saya.

“Oke, akan El coba. Tapi apa boleh El besok gak masuk sekolah? Bosen banget, soalnya,” kali ini dia memandang saya.

“Hanya boleh hari ini dan besok, ya. Setelah itu, janji, harus masuk sekolah lagi,” jawab saya

“Oke!”

Hari demi hari berlalu. Terkadang El masih mengeluh bosan, tapi makin lama keluhan itu makin jarang terdengar. Suatu hari, saya kembali ‘mewawancarai’ El.

“El, gimana, di sekolah? Kayaknya El sudah mulai enjoy, ya?”

“Iya Ma, sekarang Bu Guru jarang marah ke aku. Aku dibolehkan menggambar saat pelajaran. Bahkan Bu Guru kasih aku bintang tiap selesai menggambar. Katanya kalau sudah banyak bintangnya aku akan dapat hadiah,” jawabnya antusias.

“Terus, kita juga sering nonton di sekolah. Kayak pas waktu itu belajar tentang hewan, kita nonton di kelas tentang hewan-hewan di darat dan air,” lanjutnya.

“Bagus, dong!”

“Iya, terus ibu Guru juga kasih pilihan buat yang mau menulis, boleh menulis, misal hewan di air apa aja. Tapi kalau yang suka menggambar juga boleh menggambar jenis-jenis hewannya,” kata El.

“Wah, bagus, Mama senang mendengarnya!”


Cerita di atas adalah contoh bagaimana seorang guru dan orangtua berkolaborasi menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa. Orangtua berperan aktif dengan mencari akar permasalahan sementara guru juga melakukan hal yang sama, tidak enggan menerima masukan, dan mencari solusi-solusi terbaik.

Pendekatan yang dilakukan oleh sang guru juga merupakan contoh bagus untuk mengetahui gaya belajar anak dan penerapan pembelajaran berdiferensiasi.

Dalam Seri Manual GLS yang dikeluarkan oleh Kemdikbud, secara umum, gaya belajar anak dibedakan menjadi tiga, yaitu: auditori, visual, dan kinestetik. Auditori adalah model belajar yang menekankan pada pendengaran. Anak-anak auditori belajar dengan mengandalkan pendengaran mereka. Mereka suka mendengarkan penjelasan guru.

Sementara anak visual lebih banyak menggunakan penglihatan mereka. Mereka suka melihat gambar, infografis, bagan, dengan warna yang menarik. Mereka mudah menangkap penjelasan berbentuk gambar.

Adapun anak kinestetik belajar dengan memanfaatkan seluruh anggota tubuhnya. Mereka suka menyentuh objek, mengerjakan projek dengan tangannya, dan bergerak aktif. Bagi anak kinestetik, susah berkonsentrasi jika diminta diam dan duduk mendengarkan tanpa melakukan apa-apa.

Ketiga model belajar tersebut bagus dan setiap guru perlu mengapresiasi dengan menghadirkan perangkat belajar yang bisa diakses oleh semua anak dengan berbagai model belajar yang berbeda. Inilah konsep dasar dari pembelajaraan berdiferensiasi. Sekolah dan guru memfasilitasi setiap anak untuk belajar sesuai dengan model dan gaya belajar masing-masing.

Penerapannya di sekolah berupa modifikasi dalam empat elemen, yaitu konten, proses, produk, dan lingkungan serta iklim pembelajaran. Contoh yang dilakukan Bu Guru di sekolahnya Elyas adalah modifikasi konten. Dia menggunakan video, gambar, dan juga penjelasan tertulis dan lisan dalam menyampaikan materi. Selain itu dia juga membebaskan para siswa untuk memilih model mencatat, bisa dengan kalimat atau gambar. Fokusnya adalah siswa memahami konsep walaupun memiliki model belajar yang berbeda.

Saat mengambil mata kuliah di The University of the People mengenai barrier to learning atau hambatan-hambatan saat belajar , ada salah satu referensi bacaan yang memberikan ilustrasi sebagai berikut.

Seorang siswa yg tidak bisa mengisi lembar ujian pengetahuan sosial. Isinya kosong atau hanya jawaban-jawaban pendek yang tidak menjelaskan jawaban dari pertanyaan ujian. Padahal ketika pelajaran berlangsung, si guru mengamati bahwa anak ini bersemangat saat menjawab pertanyaan bahkan aktif bertanya.

Lalu pada suatu hari, setelah ujian, sang guru mengajak anak tersebut mengobrol. Dalam obrolan tersebut, Pak Guru menanyakan pendapat si anak (yang sebetulnya adalah pertanyaan-pertanyaan dalam ujian yang kemarin gagal dikerjakan anak tersebut). Ajaib, saat mereka mengobrol si anak tersebut menjawab dengan lancar pertanyaan-pertanyaan ujian.

Dari obrolan tersebut sang guru menyimpulkan bahwa anak tersebut sebetulnya paham isi pelajaran namun mengalami kesulitan menuangkan jawaban tersebut dalam bentuk tulisan.

Ilustrasi di atas adalah contoh modifikasi proses. Diferensiasi proses mencakup kegiatan belajar yang bermakna bagi siswa. Guru tidak boleh hanya menggunakan kuantitatif angka untuk menilai pemahaman siswa akan pembelajaran, namun juga mengamati proses belajar mereka. Model-model diferensiasi proses mencakup variasi belajar, termasuk diskusi, belajar berkelompok, bermain peran, dan lain-lain.

Sedangkan modifikasi produk adalah penilaian siswa yang tidak hanya terbatas pada hasil tes, namun juga bisa berupa kreasi/produk/karya. Misalnya membuat prakarya lalu siswa presentasi atau mereka melakukan pengamatan akan fenomena tertentu, lalu mencatat dan membagi hasil pengamatan tersebut ke kelas, atau bahkan siswa dalam menganalisa sebuah gambar atau video lalu mempresentasikan sesuai topik yang dipelajari.

Adapun diferensiasi lingkungan dan iklim pembelajaran adalah modifikasi yang dilakukan guru terkait lingkungan dan iklim di kelas dan sekolahnya. Misalnya guru mengubah susunan kursi setiap beberapa waktu. Guru membuat kontrak belajar dengan siswa untuk membuat aturan yang disepakati bersama. Guru juga mengutamakan proses dialog dan diskusi serta menghindarkan suasana penun ancaman dan tekanan.

Pembelajaran berdiferensiasi ini adalah salah satu prinsip dasar dari Kurikulum Merdeka. Bayangkan jika prinsip ini bisa diaplikasikasikan ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia, pasti tidak akan ada lagi ungkapan, “Aku bosan sekolah!”

Referensi:

Bab, I., Kementerian, P., Teknologi, D., Standar, B., Asesmen Pendidikan, D., Kurikulum, P., Pembelajaran, D., Kurikulum, P., Sebagai, F., Merdeka Belajar, W., Smpn, D., Tangerang, K., Pengembangan, S., Berdiferensiasi, P., Khristiani, H., Susan, E., Mariati, N., Anggraeni, P., & Saad, Y. (n.d.). ( ) Differentiated Instruction. https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2022/03/Buku-Model-Pengembangan-Pembelajaran-Berdiferensiasi-SMPN-20-Tangsel-_5-Maretisbn.pdf

Kurikulum Merdeka: Pembelajaran dengan Paradigma Baru dan Berdiferensiasi. (2022, February 18). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2022/02/kurikulum-merdeka-pembelajaran-dengan-paradigma-baru-dan-berdiferensiasi

Pendidikan, K., Kebudayaan, D., Jenderal, D., Dasar, P., Menengah, D., & Wiedarti, P. (n.d.). PENTINGNYA MEMAHAMI GAYA BELAJAR SERI MANUAL GLS. https://repositori.kemdikbud.go.id/12240/1/Seri%20Manual%20GLS_Pentingnya%20Memahami%20Gaya%20Belajar.pdf

‌‌

Leave a comment